24 Jul 2013
Malam
yang dingin, karena musim dingin. Malam yang belum terlalu larut telah
diselimuti hawa dingin yang menusuk kulit, bahkan ke tulang. Meskipun demikian,
tidak menyurutkan semangat para santri untuk taklim (belajar). Di pesantren
tersebut terdapat tiga jenjang sekolah diniyah (agama); awaliyah, mutawassitah,
dan takhassus. Eril hanya mengajar di kelas satu awaliyah, delapan kelas. Empat
putra dan empat putri. Malam ini adalah jamnya di kelas yuni. Ucapan serentak
santri mengucapkan salam adalah awal pertemuan dengan santrinya. Nampak dengan kasat
mata dua matanya sedikit memerah. Mulut dan segenap anggota tubuhnya kaku. Ia
semakin kaku ketika santri yang lain banyak yang ngintip dari balik jendela
kelas karena guru mereka tidak datang.
“Adik-adik,
setiap ada mubtadak pasti ada khobarnya. Sebagaimana kalau ada fi’il pasti ada
fa’il. Mereka adalah teman setia, atau bisa juga kita katakan bagaikan suami
istri.” Terang eril sembari menoleh
kesana kemari memperhatikan santrinya.
Tiba-tiba “bisa juga kita katakan
seperti kak eril dengan yuni” potong seorang santri dari belakang ssambil
tersenyum. Muka ustaz eril tiba-tiba memerah, mendadak aliran darahnya berhenti,
denyut jantungnya tidak bergerak, badannya menggigil, perasaannya tak karuan,
konsentrasinya pecah. Rasionalitasnya tertutup. Begitulah cinta. Seperti kata
orang, cinta itu ibarat kentut. Ditahan bikin sakit perut, dikeluarkan bikin
ribut. Hampir semua santri tau prihal hubungan kak eril dengan yuni.
“itu
artinya tidak mungkin ada khobar sebelum ada mutadak” lanjut Eril pura-pura
tidak mendengar ucapan santrinya. Jam telah menunjukkan pukul setengah
sembilan, saatnya istirahat dua puluh menit sebelum jam kedua. Mereka pulang ke
asrama pukul setengah sepuluh.
Jam
kedua pun tiba. Para santrri masuk kelas. Kini eril mengajar di kelas putri
yang lain. Saat akan masuk kelas, tanpa disengaja ia melihat yuni.
“dik...”
panggilnya tiba-tiba, tanpa dipikirkan sebelumnya. Ia sendiri pun heran. Sudah
terlanjur memanggil, akhirnya tangannya pun melambai sebagai isyarat memanggil.
Yuni pun mendekat. Inilah kali pertama ia ngobrol di madrasah.
“ nggak pernah pulang dik?..kalau pulang jangan
lupa kabarin kita ya..”
Yuni
hanya mengangguk seraya balik badan dan masuk ke kelasnya.
Seusai
belajar ia langsung pulang ke asrama.
Sampai saatnya pada suatu malam, dibawah
sinar lampu yang agak redup, di depan leari tua miliknya, di dalam kamar
sempitnya, rindu menyelimuti hati, kangen pun menembus nurani, ingin sekali ia
melihat kekasihnya. Walaupun jamnya tidak ada di madrasah putri, ia sengaja ke sana
hanya untuk melihat Yuni. Tapi sangat disayangkan, Tuhan tidak mengijinkan yuni
masuk, ia sakit perut. Spontanitas Eril pun pergi ke apotik untuk cari obat.
Ya, begitulah eril, ia benar-benar mencintai Yuni meskipun belum mendapat
respon. BRSAMBUNG
****